JIMA—berhubungan badan dengan pasangan sah secara Islam—itu adalah rejeki. Mungkin tanpa kita sadari, nah, jima menyimpan atau meliputi beberapa rejeki yang tidak hanya satu saja.
Rejeki ketika melakukan kemesraan bersama, meliputi beberapa tingkatan.
Pertama, rejeki dimampukan untuk melakukan hubungan intim secara halal.
Kedua, rejeki diberi kenikmatan yang ada di dalam jima’.
Ketiga, rejeki diberi pahala dan kemuliaan karena hubungan seks yang kita lakukan, dari pahala shalat Dhuha sampai dengan pahala seorang anak laki-laki yang terbunuh dalam peperangan fi sabilillah. Dan Allah Maha Kuasa untuk melipatgandakan dan meninggikan lagi pahala serta barakah jima’ yang dilakukan oleh suami-istri sesuai dengan niatnya.
Masih ada tingkatan-tingkatan rejeki lainnya dalam hubungan intim suami-istri. Salah satunya adalah rejeki berupa anak yang dilahirkan dari hubungan intim di malam itu. Sebaik-baik rejeki adalah yang paling besar barakah-Nya. Dan pada waktu jima, Allah kita berada dalam keadaan hati dan jiwa yang paling siap untuk menerima karunia ruhiyyah. Pada setiap waktu jima, insya Allah kita berada dalam niat paling bersih, pengharapan terbaik, dan prasangka kepada Allah yang paling bersih.
Karena itu, melaksanakan kemesraan suami-istri insya-Allah merupakan kemuliaan yang utama. Insya-Allah dari jima itu lahir anak-anak yang menjadi syafa’at bagi orangtuanya di hari kiamat dengan seizin Allah. Anak-anak yang hukma-shabiyyan rabbi-radhiyyan (sejak kecil memiliki kearifan dan diridhai Tuhan). Anak-anak yang memberi bobot kepada bumi dengan kalimat laa ilaha illaLlah.
Islam memberikan tuntutan kepada kita ketika memasuki waktu jima adalah agar suami-istri dapat memperoleh kenikmatan hubungan intim. Ibarat puasa, untuk jima ini, segerakanlah berbuka ketika maghrib tiba. Yang demikian ini lebih besar barakah dan ridha-Nya.
Wallahu A’lam bishawab.
Ada yang bisa kita renungkan untuk kita jadikan sebagai cermin ketika membicarakan masalah melakukan hubungan intim dan rejeki yang ada di dalamnya. Salah satu teladan kita adalah Umar bin Khaththab, seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang termasuk khulafaur-rasyidin.
Umar bin Khaththab r.a. mengingatkan dengan mencontohkan dirinya, “Sungguh aku memaksakan diri bersetubuh dengan harapan Allah akan mengaruniakan dariku makhluk yang akan bertasbih dan mengingat-Nya.”
Umar r.a. juga menganjurkan, “Perbanyak anak, karena kalian tidak tahu dari anak yang mana kalian mendapatkan rejeki.”
Jadi kalau memungkinkan, mendatangi istri insya-Allah lebih utama dan lebih besar barakah-Nya. Sedang istri bisa mengingatkan suami tentang niat. Adapun kalau suami tampak masih ragu, istri bisa menyemangati dengan cara- cara yang baik, halus dan mengesankan suaminya. Semoga Allah meridhai usaha kita semua ini.
Rasulullah Saw. bersabda, “Nikah itu sunnahku. Siapa yang tidak mau menerapkan sunnahku, sudah tentu ia bukan dari golonganku. Maka budayakanlah perkawinan, karena aku bangga dengan banyaknya bilanganmu lebih dari umat-umat lain di hari kiamat.” (HR Ibnu Majah).
Nah, mari kita tetapkan niat untuk memberikan kesenangan kepada istri di setiap kali jima. Mudah-mudahan Allah mengaruniai dengan kebersihan hati, memperbaiki akhlak kita sesudahnya, dan mensucikan niat. Semoga pertemuan kita saat ini penuh barakah dan dibarakahi. Allahum-ma amin.
Tetapi sekalipun Anda sebaiknya bersegera mendatangi istri untuk melakukan apa yang lazim dilakukan oleh orang yang sudah menikah, Anda juga perlu memperhatikan kesiapan dan perasaan istri. Jika Anda tetap memaksakan untuk hubungan intim, sementara istri berada dalam ketidaksiapan dan ketakutan, waktu juma Anda bisa meninggalkan kesan yang mengerikan, bukan membahagiakan. Karena itulah, barangkali ada baiknya Anda jawab pertanyaan Ukasyah Abdul Mannan Al-Thayyibi Hasan ‘Asur (namanya memang panjang sekali) dalam bukunya Etika & Nasehat Malam Pertama. Salah satu bab di buku itu diberi judul berupa pertanyaan, “Malam Pertama, Mengerikan atau Membahagiakan?”
Jika Anda ingin jima Anda tidak berakhir dengan kesedihan yang mengerikan, maka Anda perlu mendekati istri dengan cara yang baik dan lembut agar ia siap. Sesudahnya, Anda bisa melakukan apa yang seharusnya Anda lakukan. [sa/islampos/disarikan dari buku Kupinang Engkau dengan Hamdallah, karya Muhammad Fauzhiel Adiem]
0 Comments